Oleh :
Muhammad Iqbal Nurdwiratno & Marsofiyati, S.Pd, M. Pd
Sejak pertama kali
diumumkan terdapat kasus positif COVID-19 di Indonesia oleh Presiden Jokowi
pada tanggal 2 Maret 2020, masyarakat mulai merasakan cemas, khawatir dan takut.
Kemudian hal tersebut mulai
berdampak ke beberapa sektor, seperti pada sektor ekonomi, sangat dirasakan para
pekerja UMKM yang terpaksa harus menutup lapak produksinya karena adanya arahan
untuk menghentikan kegiatan produksi sementara. Banyak juga karyawan yang harus
di PHK hingga akhirnya alur kegiatan perekonomian menjadi macet dan
dapat memicu terjadinya krisis ekonomi.
Kejadian Panic Buying atau
pembelian barang secara berlebihan oleh masyarakat juga mulai terjadi
dimana-mana karena adanya isu lockdown.
Namun, selain pada sektor
ekonomi, COVID-19 ini juga sangat berdampak di sektor pendidikan. Anjuran atau
pemberlakuan untuk physical distancing atau menjaga jarak satu sama lain
menjadi dasar dilaksanakannya pembelajaran dari rumah. Memanfaatkan teknologi
yang ada secara tiba-tiba juga membuat pendidik maupun peserta didik menjadi
kaget, bahkan termasuk orang tua dari peserta didik juga.
Proses KBM (Kegiatan
Belajar Mengajar) yang awalnya tatap muka, kini mulai diberlakukan PJJ (Pembelajaran
Jarak Jauh) dengan memanfaatkan teknologi, media sosial atau beberapa aplikasi
belajar. PJJ ini juga sebenarnya bukan hal yang baru dalam dunia pendidikan di
Indonesia. Berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik
Indonesia Nomor 24 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pendidikan Jarak Jauh.
Jadi PJJ ini sudah menjadi bagian pendidikan Indonesia sejak lama.
Namun, seiring berjalannya
PJJ saat ini, banyak keluhan muncul dari mahasiswa karena PJJ ini membuat tugas-tugas
perkuliahan menjadi lebih banyak diberikan oleh dosen dengan batas waktu
penyelesaiannya yang singkat juga. Menurut pengalaman penulis, masih cukup ada beberapa
dosen yang mungkin tidak memperhatikan jadwal mata kuliah mahasiswanya. Merasa
bahwa hanya ada mata kuliahnya pada mahasiswa tersebut. Hanya sekedar
memberikan tugas dengan batas waktu yang menurutnya cukup.
Hal tersebut membuat
mahasiswa harus terus bertatap dengan layar laptop/pc atau gadgetnya terus menerus
agar tugasnya segera terselesaikan, sehingga mengakibatkan turunnya kesehatan
mata. Berdasarkan pengalaman kawan-kawan penulis, hal tersebut bukan hanya
benar-benar dirasakan oleh sebagian orang yang sudah memiliki penyakit mata
minus, tapi juga oleh orang-orang sebelumnya memiliki mata normal menjadi mulai
terganggu penglihatannya. Bahkan yang sebelumnya memiliki penyakit mata minus,
menjadi parah hingga akhirnya perlu istirahat yang cukup agar kondisinya
kembali normal. Hal tersebut jelas berpengaruh terhadap proses belajarnya.
Kemudian, permasalahannya
tidak hanya berhenti disitu saja, permasalahan seperti gangguan sinyal, besarnya
penggunaan kuota internet juga sangat dirasakan oleh mahasiswa. Hal ini juga
yang seharusnya menjadi perhatian bersama.
Saat ini mungkin sudah ada
beberapa Universitas yang sudah memberikan subsidi kuota internet kepada
mahasiswanya. Contohnya seperti Universitas Gadjah Mada, Universitas Negeri
Medan, Universitas Pendidikan Indonesia, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
dan AMIKOM Yogyakarta. Hal tersebut dikatakan oleh plt. Dirjen Dikti, Pak Nizam.
Berdasarkan pengalaman
penulis, hingga saat ini penulis sendiri serta kawan-kawan penulis masih belum
merasakan adanya subsidi kuota internet. Banyak yang akhirnya kuota internetnya
habis sebelum masa aktifnya. Sebelum PJJ biasanya habis dalam waktu sebulan,
saat ini dalam waktu seminggu bisa sudah habis. Sehingga mengharuskan untuk
membeli terus menerus agar PJJnya terlaksana. “Hemat ongkos jajan, namun besar
ongkos untuk kuota internet yang melebihi ongkos jajan”. Kata-kata tersebut
yang muncul kawan penulis.
Padahal, plt. Dirjen
Dikti, Pak Nizam sudah menyampaikan saat ini kebutuhan internet menjadi
kebutuhan penting bagi mahasiswa. Tentunya hal ini harus dilakukan agar
meringankan beban mahasiswa dalam melaksanakan PJJ.